usaha kapur tulis, dulu dan sekarang

blokBojonegoro.com - Berdiri sejak 20 tahun yang lalu, keberadaan produksi kapur rumahan yang ada di Desa Tulungrejo Kecamatan Sumberrejo, Kabupaten Bojonegoro, memang tidak begitu dikenal oleh masyarakat luas, meski fungsi dari kapur tulis sendiri pernah sangat membantu dunia pendidikan, baik formal maupun non formal.
Tentu yang hidup di era kejayaan kapur tulis masih ingat betul, selain biasa untuk media menulis pelajaran di papan berwarna hitam, debu dari kapur tersebut sering digunakan bahan bercanda sesama teman, seperti mengoleskan debu ke wajah teman sejawat bak kosmetik bedak. Contoh lainnya tentu anda bisa mengenang masa-masa itu.
Kini, seiring berkembangnya zaman baik itu secara teknologi maupun makin majunya peralatan untuk menunjang kegiatan belajar mengajar, tentu makin hari kapur tulis juga semakin terpinggirkan, apalagi para pelaku usahanya.
Baca juga: Pernah Disambangi Satpol PP Hingga Diborong Dinas
Ialah Munawi, satu-satunya pelaku usaha pembuatan kapur tulis warga Tulungrejo Kecamatan Sumberrejo.
Dimulai dari nol, ia belajar membuat kapur tulis dengan media pelepah pepaya kemudian mempunyai alat cetakan kapur dengan kapasitas produksi kecil dan memasarkanya ke toko sekitar. Meskipun memproduksi dalam jumlah yang tak banyak, pemasaran kapur tulis Munawi saat itu juga pernah mencapai pasar kota, bahkan sampai luar jawa.
Laki-laki 52 tahun ini menceritakan masa-masa kejayaan kapur tulis yang tidak bisa lepas dari dunia pendidikan. Dulu selain pernah dibeli oleh Dinas Pendidikan dengan jumlah banyak, ia juga pernah menyetok kapur tulis di toko-toko ternama yang ada di Bojonegoro.
"Pernah jual di toko rahmat dan bursalino Bojonegoro juga," ungkapnya mengenang.
Lalu setelah bekerjasama dengan distributor, Munawi tidak lagi menjual kapur tulis produksinya ke tempat-tempat yang dulu pernah menjadi langgananya. "Semenjak itu pemasaran dipegang penuh oleh distributor," saut Sriyatun istri tercinta Munawi, yang turut bercerita masa-masa indah produksi kapur tulis.
Ketika pemasaran kapur tulis dipegang penuh oleh distributor, di sanalah titik kejayaan usaha produksi kapur miliknya, dan tentu saat itu sangat menguntungkan. Sampai-sampai ia bisa mempekerjakan lima orang karyawan untuk membantunya memproduksi alat tulis legendaris itu.
"Masalah omset dulu ya hingga puluhan juta per bulan, untuk beli bahan dan gaji karyawan juga," beber Munawi menceritakan seberapa maju usahanya saat itu.
Untuk bahan sendiri, suami Sriyatun hingga saat ini masih membeli dalam bentuk kasting (bahan kapur tulis yang masih berbentuk tepung) seharga Rp60 ribu di salah satu toko langganannya yang ada di pasar Sumberrejo.
Sedangkan campuran bahan tersebut tak lain hanyalah air, dan sebelum mencetak mesin tersebut diberi pelumas berupa solar dan minyak goreng. Sedangkan takarannya adalah untuk dua kilogram kasting dicampur dengan 2000 mili air.
"Dulu sih pakai timbangan, sekarang sudah pakai ilmu kira-kira, karena sudah hafal," cakap laki-laki 52 tahun ini sambil bercanda.
Meski pemasaran saat ini bisa dibilang semakin sulit, lantaran sekarang untuk media menulis di papan sudah banyak yang menggunakan spidol, Munawi tetap terus memproduksi kapur tulis untuk persediaan, dengan harapan jika sewaktu-waktu ada pembeli yang tiba-tiba memborong hasil produksinya tersebut.
"Stok selalu ada tapi tidak banyak, paling ada tiga kardus di rumah siap dipasarkan," jelasnya.
Di sisi lain, distributor yang dulu bekerjasama dengan Munawi juga berpesan untuk menghentikan produksi sementara, karena akhir-akhir ini dirasa pesanan sudah jarang ada, akhirnya ia memasarkan kapur tulisnya di empat toko.
"Masih bersyukur, karena satu toko itu masih bisa pesan sampai sepuluh kardus dalam satu bulan," jelasnya.
Meski begitu, lanjut ayah empat anak ini, panghasilannya saat ini bisa dibilang kembang kempis berbeda dengan masa-masa dulu saat kapur selalu menghiasi meja ruang sekolah, pasalnya tidak ada pendapatan pasti yang bisa dihitung. Kini pendapatanya tergantung permintaan dari konsumen.
Istri Munawi juga membeberkan, untuk saat ini penghasilannya cukup untuk kebutuhan bertiga, dan ia tetap bersyukur karena tiga anaknya yang lain sudah berkeluarga.
"Ini tinggal si bungsu yang masih duduk di bangku sekolah dasar, bersyukur selalu," papar Sriyatun ibu empat anak itu menutup percakapan. [aim/mu]