MUDIK BERSAMA TUHAN
Oleh M. Luqman Hakim
Sebulan penuh umat Islam melaksanakan ritual puasa, tentu demi sebuah ujung primordial yang suci (kembali ke fitrah)
dan harapan masa depan yang lebih bertaqwa. Setiap tahun terasa ada
kekuatan kembali ke titik margin dari perjalanan setahun yang panjang
dengan tumpukan beban nafsu, kepenatan psikhologis yang harus dilepaskan
dalam atmosfir kemerdekaan sejati.
Paradok-paradok yang dramatis di masa laluselalu membutuhkan pembebasan
universal dengan simbol kemenangan jiwa-jiwa suci di hari raya Idul
Fitri bersama gema takbir. Menakbiri nafsu dan syetan, menakbiri hasrat
duniawi, bahkan menakbiri iamjinasi ukhrowi, hingga berpuncak pada
Takbir untuk segala hal selain Allah swt.
Tetapi semua itu tidak
dirasakan oleh mereka di penjuru dunia yang lain,. Sebab, di Nusantara
ini selalu ada drama sosial yang sangat fantastis, yang menjadi
antiklimaks dari seluruh prosesi ritual bulan Ramadhan. Karena ada
pusaran organism yang berpusat pada Idul Fitri, elemen-elemen lain yang
bergerak, seperti Mudik, Halal Bihalal, Hari Raya Ketupat, pesta-pesta
Silaturrahim keluarga, sangat terasa eksotis, sekaligus terjadi
putaran-putaran urbanisasi dan pergerakan social ekonomi yang menarik.
Walaupun terkadang melebihi esensi yang tersembunyi dibalik ritual
sejati, puasa di bulan suci, peristiwa mudik dan rumpun mudik, menjadi
realitas sosial dan budaya yang begitu signifikan, sebuah perpaduan
dramatik spiritua transendental dan perubahan-perubahan sosial itu
sendiri. Karena akan selalu muncul pagelaran yang unik, dari proses
perubahan individu, keluarga dan masyarakat luas.
Pemaknaan
kembali ke fitrah primordial saja dinilai tidaklah cukup dengan
formalisme agama dalam wujud rasa lapar, gema takbir, atau sekadar
pakaian baru, dan presentasi kehidupan baru. Mudik, tiba-tiba menjadi
kekuatan yang tak bisa dibendung dari perjalanan di sirkuit modernisasi
dan urbanisasi yang biasanya dilalui dengan penuh persaingan, konflik,
dan pergeseran nilai-nilai.
Rasa terasing dengan diri sendiri,
kegersangan-kegersangan spiritual perkotaan, dan himpitan yang
memuakkan, dinilai hanya bisa selesai secara tradisional dengan mudik,
sebagai eskapisme atas ketakberdayaan manusiawi, bahkan kadang bisa
dijadikan refreshing spiritual atas kemunafikan realitas hidup manusia
modern.
MUDIK SEBAGAI RUMAH BESAR
Karena mudik
merekonstruksi kearifan-kearifan yang hilang, betapapaun tinggi derajat
individu dalam landskap ibadah, bila kegairahan sosial tidak
terekspressi secara visual, maka derajat ritual seseorang yang tidak
sempurna, Maka dibangunlah konstruksi mudik sebagai “rumah besar” yang
bisa dihuni oleh keragaman, pluralitas dan interaksi yang tak tertulis
dalam hukum-hukum agama, kecuali sebagai wujud rekonsiliasi, ketika
masing-masing merasa tercerabut dari akarnya paling dini. Kesatuan
keluarga yang membahagiakan.
Barangkali akademi mudik mulai
dipersepsi secara intelektual dewasa ini, karena pengaruhnya terhadap
kehidupan sosial dan ekonomi bahkan politik di negeri ini, namun,
ketika mudik sudah setara dengan “agama” dalam persepsi psikhologis
beragama, nilai-nilai spirit di balik mudik pun banyak mengalami
pergeseran dari makna sejatinya. Kita melihat teater mudik, penuh dengan
efek yang terkadang memuakkan. Mulai dari soal macet, tingkat
kriminalitas, sampai pemanfaatan status sosial baru bagi kaum urban yang
ingin menunjukkan kelas tampilan sosial barunya yang materialistik.
Teater paling meyedihkan disaat barisan orang-orang miskin di negeri
ini, harus dikorbankan oleh belaskasih materi orang-orang kaya, atas
nama kedermawanan, kesuksesan publik, dengan gilanya menikmati ribuan
orang fakir miskin yang antri hadiah sembakonya. Sungguh inilah
kebahagiaan di atas penderitaan. Kebanggaan sosial yang sangat tidak
mendidik peradaban agama dan bangsa ini.
Sementara
lembaga-lembaga pengepul dana zakat, infaq dan sedekah mulaui
berlomba-lomba meningkatkan omsetnya, dengan jumlah ratusan milyar,
tanpa kepedulian public untuk mengontrol transparansi distribusi pada
para mustahiqqin (yang berhak menerima santunan). Karena memang kita
terbiasa tidak mengukur keberhasilan spiritual sehari-hari, yang
seharusnya memang ada muhasabah (monitoring dan refleksi diri), sehingga
masyarakat spiritual tidak terjebak pada “tipudaya” (ghurur) yang
mengatasnamakan Tuhan bagi sejumlah kepentingan.
Sudah
saatnya mudik menjadi kongres tahunan di “rumah besar” bagi bangsa
ini, karena sejumlah aktivitas positif bisa berperan mengembalikan jati
diri melalui kearifan lokal. Sejumlah resolusi konflik dengan jalinan
kasih sayang dan pemaafan sosial, terbangun tanpa biaya besar dari
Negara. Karena setiap individu harus memaksa diri untuk menjadi “bayi
fitrah” demi derajat spiritualnya, dan pengaruhnya adalah perdamaian
social yang luar biasa. Seperti bati-bayi yang berlari dalam pelukan
ibundanya.
Bangsa ini selalu mencari kanal-kanal yang menuju
samudera luas, demi kompensasi sosialnya. Tanpa saluran itu, kita akan
terus bergumul dengan konflik sosial politik dengan
kepentingan-kepentingan instan yang memuakkan. Kanal itu harus disiapkan
menuju samudera spiritual yang agung, karena jatuh bangunnya suatu
bangsa akan dipertanggungjawabkan oleh para pemimpinnya di akhirat
kelak.
Ibnu Athaillah as-Sakandary, Sufi besar abad tujuh
hijriyah, menegaskan, “Diantara tanda-tanda akhir sukses yang besar ,
adalah mengembalikan kepada Allah Swt, di awal perjalanan spiritualnya,”
bisa dijadikan ukuran apakah pasca mudik menjadi akhir sukses besar
perjalanan spiritual, sangat tergantung individu untuk menyadari bahwa
perjalanan hidup yang disertai Allah Swt, sangat menentukan apakah kelak
ia akan sukses untuk bertemu dengan Tuhannya, atau justru terlempar
dalam sahara spiritual yang gersang.
Barangkali tidak berlebihan
bila revolusi mental yang dicanangkan Presiden Jokowi harus sarat dengan
paradigma Ketuhanan. Para Ulama dan agamawan harus cepat menyadari
kiamat global ada di depan mata, dan semua bermula ketika
kebangkitan-kebangkitan global justru memberikan tawaran-tawaran
tipudaya yang mempesona. Hanya karena menawarkan “Gerakan Tanpa Tuhan”
dalam mekanisme globalisasi, peradaban manusia akan menuju lorong
gelapnya yang mengerikan.
Indonesia menjadi bagian terpenting
dari proses-proses tersebut, untuk mengembalikan fitrah kemanusiaan di
era global, yang sudah berada di pinggir jurang dehumanistik. Hal
demikian tidak bisa ditangani dengan kebijakan-kebijakan public yang
formalistic, tetapi juga harus melibatkan akar spiritual yang terus
mengontrol perjalanan historiknya.
Tentu, filosufi pendidikan
kita menjadi awal yang kita bangun. Karena dunia pendidikan kita tidak
memiliki filosufi yang terbuka untuk diterjemahkan oleh institusi formal
maupun non formal. Departemen yang terkait selalu menjadi “dewa”
pendidikan yang hegemonic, sehingga watak manusia dan kepribadian
manusia Indonesia seperti apa yang harus dibangun, tidak bisa diukur
dengan perspektif yang terbuka.
Momentum mudik, tidak berlebihan
jika dicanangkan oleh pemerintah dan berbagai pihak dengan tema-tema
besar yang menyentuh kepentingan nasional. Tema-tema yang menyadarkan
makna fitrah untuk masa depan bangsa ini, tanpa harus melukai esensi
agama, seperti ketika agama dijadikan sebagai industri politik dan
ekonomi.
Fitrah agama dan kemanusiaan saling berkelindan,
antara spiritualisme dan rasionalisme, antara kesatuan umat dengan
pluralism, antara masjid dan pasar, antara religiusitas dan
nasionalisme. Tanpa hubungan yang harmonic masing-masing, maka akan
tumbuh persaingan saling mendominasi yang berujung pada konflik-konlik
sejarah yang tak berujung.
Penyelesaian akademik, dengan melihat
fakta-fakta kebangsaan kita, sebagai bangsa yang religius akan sangat
membantu karena akar perdebatannya berujung di sini. Bahkan hingga saat
ini polemik-polemik intelektual sudah bercampur aduk dengan fanatisme
beragama.
SUFISME MUDIK
Kesadaran fitrah dalam atmosfir mudik
memberi dukungan dialogis, bahwa spritualisme harus turut member
pencahayaan setiap proses rasionalisasi. Sekali lagi, Ibnu Athaillah
menguatkan, “Cahaya para Sufi senantiasa mendahului wacananya.” Nabi
Saw, juga membangun Negara Madinah, dengan karakter kuat yang memadukan
rasionalisasi kota, dan spiritualisasi sistemik yang berpengaruh bagi
kepribadian peradaban, Kelak dikenal dengan Al-Madinah al-Munawwaroh,
kota rasional yang yang dipancari cahaya spiritual. Perpaduan dunia
syariat dan hakikat yang bergerak hingga akhir zaman.
Menjadi sangat
narsis apabila kaum Sufi modern menghindari keterlibatan dengan
peradaban kota yang rasional atas nama berlari “Mudik kepada Tuhan” yang
eksklusif. Sebagaimana gersangnya kaum rasionalis dan kaum formalis
agama, yang hanya melihat aktivitas keagamaan sebagai bentuk
transaksional dengan Tuhan, yang berujung pada keuntungan-keuntungan
material.
Mudik kepada Tuhan (ar-ruju’ ilaLah) haruslah berakhir
dengan Mudik Bersama Tuhan (Billah). Karena umat Islam telah dihantar
melalui Mi’raj Spiritual di bulan Suci, dan ia harus kembali ke alam
semesta social dengan penuh rahmatNya (rahmatan lil’alamin). Karenanya
Mudik Bersama Tuhan, berarti kembali ke alam realitas publik, penuh
dengan jiwa kasih sayang, pemaafan dan memohonkan ampunan kepada Allah
swt dosa-dosa umat. Baru akan terjadi proses dialogis yang indah dan
damai.
Di alam realitas ia menjadi hamba, sekaligus meneguhkan
perjalanan kehambaannya secara benar, mengenal hak-haknya sebagai hamba
dan hak-hak makhluk Allah lainnya. Hak kehambaan adalah awal manusia
membangun kekhalifahannya di muka bumi, melalui penegakan Hak-hak
Ketuhanan dalam spirit pribadinya.
Semua akan tersadarkan, betapa
pentingnya menegaskan diri sebagai hamba Allah swt, bukan hamba dunia
dan nafsu, apalagi hamba syetan dan imajinasi-imajinasi instan yang
seringkali menjebak Jalan Lurus menuju Allah.
Tanpa kesadaran ini,
modernisasi menjadi musuh bersama bagi spiritualitas keagamaan, padahal
posisinya adalah realitas bumi yang harus dilindungi oleh cahaya
spiritual langit.
KH.M. Luqman Hakim, Ph D, adalah, Pengajar
Sufisme and Peace Education Pascasarjana UNIRA, dan Pengasuh Ma’had Aly
Raudhatul Muhibbin Bogor
________
Dimuat di majalah Gatra, tgl 30 juni-6 Juli 2016